PEKANBARU – Bagi Irjen. Pol. Dr. Herry Heryawan, menjadi polisi bukan semata perkara menegakkan hukum. Ia memaknai kepemimpinan sebagai proses terus-menerus untuk mencari, menemukan, dan menghadirkan makna baru dalam menjawab realitas sosial yang kompleks.
Gagasan ini barangkali asing dalam lingkup kerja kepolisian yang sering kali dianggap teknokratik. Namun, di tangan jenderal yang dikenal humanis dan reflektif ini, pendekatan terhadap masalah justru dimulai dari akar filsafat: manusia sebagai makhluk yang ada (Dasein, menurut Martin Heidegger)—yang senantiasa mencari arti, bukan hanya data atau informasi.
“Kalau hanya berhenti di angka, kita tidak pernah sampai pada makna,” ujarnya dalam sebuah diskusi tadi malam, Jum’at (18/7) bersama redaksi Bermarwah.id.
“Saya percaya, setiap tindakan kita harus lahir dari pemahaman terhadap penderitaan yang real, bukan asumsi statistik.”
Sikap ini mendorongnya melakukan pendekatan baru terhadap masalah-masalah struktural yang selama ini luput dari perhatian aparat keamanan, seperti kemiskinan, keterpencilan, dan ketimpangan sosial di daerah aliran sungai (DAS) Riau.
Kapolda menyadari, daerah-daerah DAS seperti Indragiri, Kampar, dan Siak menyimpan persoalan yang lebih mendalam daripada sekadar potensi kriminalitas.
Di sana, kemiskinan telah membentuk pola ketidakadilan yang sistemik. Rasio kesenjangan—genuine ratio—cukup tinggi. Dan dalam banyak kasus, kemiskinan menjadi akar dari praktik-praktik ilegal seperti pembalakan liar, peredaran narkotika, hingga perdagangan manusia.
“Ini sebenarnya bukan tugas polisi,” akunya jujur. “Tapi saya tidak bisa menutup mata. Maka kita buat forum diskusi bersama pemerintah daerah, bukan hanya sekali, tapi berkali-kali. Kita cari solusi, bukan kambing hitam.”
Forum diskusi itu—yang lebih mirip ruang belajar kolaboratif—melibatkan berbagai pemangku kepentingan. Tujuannya bukan mengatur, tapi merumuskan arah baru kebijakan yang lebih mendengar dan mengerti realitas lapangan.
Dari Epistemofilia ke Otentisitas
Apa yang dilakukan Kapolda Riau bukan sekadar bentuk good governance. Dalam kajian filsafat, langkah ini dapat dibaca sebagai perjalanan dari epistemofilia—cinta terhadap pengetahuan—menuju otentisitas: menjadi pemimpin yang sadar akan keberadaan diri dan orang lain secara jujur dan transformatif.
“Menjadi otentik itu bukan berarti menjadi sempurna,” kata alumni Magister Filsafat UI ini. “Tapi menjadi cukup jujur untuk tahu bahwa solusi tidak bisa lahir dari balik meja saja.”
Di tangannya, kerja-kerja kepolisian menjadi ruang reflektif yang hidup. Ia membacakan puisi di acara lingkungan, mengajak anak-anak muda menyuarakan harapan lewat musik, bahkan mendekati komunitas adat, ulama, untuk belajar cara mereka menjaga rimba.
Dalam dunia yang serba tergesa dan birokratis, pendekatan Herry Heryawan memang terasa seperti ‘jalan yang tidak biasa’. Tapi jalan itu ia tempuh dengan keyakinan bahwa manusia selalu bisa menjadi lebih baik jika diberi kesempatan untuk memahami dirinya sendiri dan dunia.
“Kadang saya bertanya pada diri sendiri, apa benar ini cara yang efektif?” Ia terdiam sejenak. “Tapi kemudian saya ingat, kalau tak ada yang memulai, maka kita hanya akan jadi penonton dari kerusakan yang terus berulang.”
Apa yang dilakukannya mungkin belum sempurna. Tapi dari sinilah—dari keberanian untuk bertanya, dari cinta akan pengetahuan, dan dari niat untuk menghadirkan kebijakan yang lebih manusiawi—lahir harapan bahwa kepemimpinan di negeri ini bisa berjalan di atas fondasi makna, bukan sekadar kekuasaan. (ramon damora)