MALAM mengendap pelan di Anjung Seni Idrus Tintin, Pekanbaru, kata-kata melesat jadi cahaya. Panggung KalaMusika 2025, yang bertajuk Surat kepada Bunda Alam, menjelma altar puisi dan nada.
Ratusan penonton duduk dalam senyap penuh getar, menyimak tiap syair dan denting gitar, dawai zapin dan biola, seolah bumi sendiri tengah membaca doa panjang dari anak-anaknya yang gelisah.
KalaMusika bukan konser biasa. Ia adalah konser kata-kata. Sebuah pentas lintas genre yang mengawinkan puisi dan musik, suara dan rasa. Dibuka dengan lantunan “Syair Hutan dan Kitab Tuhan” oleh Muhammad Febriadi, lalu mengalir ke puisi-puisi yang menggetarkan.
Husnizar Hood membaca “Surat-surat kepada Bunda Alam”, “Risalah dari Akar yang Tersisa” digubah Ramon Damora. Ini bukan pertunjukan biasa, tapi pengakuan bersama: bahwa tangisan alam adalah jerit batin kita sendiri.
Walikota Pekanbaru, Agung Nugroho, menjadi salah satu penampil yang paling menyita perhatian. Membacakan puisi Cayo Den, sebuah idiom khas Pekanbaru yang berarti “aku percaya”, Agung tampil interaktif, diiringi gitar blues Benny Riaw.
Ia menyelipkan pantun dan menyapa Kapolda Riau Irjen Pol Herry Heryawan yang tak bisa hadir karena tengah memadamkan api di Rokan Hulu. “Saya percaya pada lelaki itu. Pada Herimen,” katanya, disambut gemuruh penonton: “Cayo Den!”
Kapolda Herry Heryawan, Sang Jenderal Puisi, sejatinya dijadwalkan membacakan puisi Aku Berdiri untuk yang Tak Berkata. Namun pagi Sabtu itu, ia memilih turun langsung ke lahan gambut yang terbakar di Rohul.
“Saya mohon maaf, saya harus memilih memadamkan api dulu,” pesannya kepada Walikota yang lalu disampaikan kepada audiens. Sajaknya tak jadi dibacakan malam itu, tapi tindakannya menjadi puisi paling nyata.
Gubernur Riau Abdul Wahid pun turut naik ke panggung, membaca puisi perdananya berjudul Hilang Rimba, Hilang Bahasa. Getar vokalnya tak sepenuhnya bisa menyembunyikan keprihatinan. “Ini ekspresi akal budi,” ujarnya usai acara. “Kita sedang kehilangan rimba. Kita juga sedang kehilangan bahasa,” tambah dia. Pesan itu bukan hanya untuk para seniman, tapi untuk seluruh penjaga masa depan.
Sepanjang malam, satu per satu seniman dan penyair tampil menyampaikan kesaksian batin mereka atas alam yang terlukai. Dari Kunni Masrohanti dengan Seru Sebatang Pohon, Jefry Al Malay dengan Tikar Mak Anyam Malam, hingga Murpasaulian yang menghadirkan Kisah Pasir Berbisik. Penyair cilik Queen Qamila Dayana Batrisya pun tak kalah menggugah lewat puisi Percakapan Seekor Anak Gajah kepada Seorang Jenderal, sebuah dialog imajiner yang mengguratkan harapan anak-anak pada pemimpin yang mencintai alam.
Lalu ada Norham Abdul Wahab, Siti Salmah, Marhalim Zaini, hingga Asrizal Nur —yang masing-masing menyumbangkan syair dalam gaya dan getarannya sendiri. Pada akhirnya, seluruh pertunjukan ini seperti orkestra kesadaran ekologis: menyuarakan bahwa bumi bukan milik kita, tapi amanah yang harus kita rawat.
Ditutup oleh penyanyi Melayu yang tengah naik daun, Al Hafizh, suasana menjadi ringan dan hangat. Tapi makna yang tertinggal tetap terasa dalam.
KalaMusika 2025, yang digelar sempena Hari Bhayangkara, HUT ke-68 Provinsi Riau, dan HUT ke-80 RI, tak hanya mempertemukan seniman dan pejabat di atas panggung yang sama.
KalaMusika menyatukan suara dalam buhul simpul yang sama: cinta kepada bumi, kegelisahan atas kerusakannya, dan harapan yang tak boleh padam, seperti kerlip kendil di penghujung malam.
Bara dan asap memang belum sirna di Rohul, tapi konser ini seolah menjadi risalah kolektif dari panggung kepada Bunda Alam. Risalah yang dibacakan, sekaligus direnungkan, seperti bait puisi yang dibacakan Ramon Damora malam itu:
“Aku percaya, aku percaya. Kalian takkan bisa menghentikan semua api yang telah disulut keserakahan. Tapi puisi yang kalian nyalakan malam ini sudah cukup untuk membuat burung-burung bersiul lagi…” (uty)