Jenderal Herimen dan Hari Pertama Sekolah: Tatkala Negara Memeluk Anak-anaknya

ADA momen kecil yang menyimpan makna besar. Di hari pertama tahun ajaran baru, Senin, 14 Juli 2025, sebuah kebijakan sederhana meletup dari jantung institusi berseragam: Kapolda Riau Irjen Pol Dr. Herry Heryawan memberikan keleluasaan kepada seluruh anggota kepolisian di bawah komandonya untuk mengantar anak-anak mereka ke sekolah. Apel pagi pun diundur ke pukul 08.30.

Bagi sebagian orang, ini mungkin cuma penyesuaian teknis. Tapi bagi mereka yang paham denyut etika kepemimpinan, langkah ini adalah suara halus dari kepedulian yang langka. Sebuah afirmasi bahwa polisi bukan sekadar alat negara, melainkan manusia; ayah, ibu, pendamping bagi masa depan yang berangkat pagi dengan tas di punggung dan harapan di mata.

Apa yang dilakukan Kapolda Riau adalah tindakan filosofis,
jika kita bersedia melihatnya lewat jendela etik. Di tengah struktur institusional yang rigid dan hierarkis, memberi ruang untuk urusan hati adalah terobosan yang lembut, sejenis kebijaksanaan yang berakar dari logika prosedural, juga dari pengakuan terhadap martabat manusia sebagai makhluk yang mencinta, yang memiliki rumah, dan yang sesekali perlu berhenti sejenak demi memeluk anaknya sebelum lonceng sekolah berbunyi.

Ini bukan retorika. Ini keberanian untuk menempatkan etika kasih sayang sebagai bagian dari manajemen publik. Dalam istilah Emmanuel Levinas, ini adalah pengakuan atas ‘wajah yang lain’, yang melihat polisi sebagai simbol kekuasaan, sekaligus sebagai pribadi yang memiliki tanggung jawab di ruang domestik, di meja makan, di ruang tamu, di gerbang sekolah.

Kebijakan ini juga mengingatkan kita pada pentingnya keseimbangan peran dalam kehidupan modern, antara pekerjaan dan keluarga, antara dinas dan rumah, antara yang publik dan yang intim. Ketika seorang pemimpin memberi tempat bagi nilai-nilai ini, ia sedang memanusiakan sistem. Ia sedang berkata: seragam tak pernah bisa melucuti hak Anda untuk menjadi orang tua.

Dalam kerangka kepemimpinan etis, tindakan ini adalah empati dan teladan. Ia menunjukkan bahwa kekuasaan yang bijak bukanlah kekuasaan yang kaku, melainkan yang lentur terhadap kebutuhan emosional para pengemban tugas. Kepemimpinan seperti ini bukan melulu soal perintah dan target, tetapi juga soal mendengar, memahami, dan memelihara.

Lebih jauh lagi, kita membaca ini sebagai upaya menyulam kembali relasi sosial yang tercerai-berai oleh birokrasi. Polisi yang merasa dihargai sebagai manusia akan bekerja dengan nurani yang lebih hidup. Anak-anak yang diantar ayah atau ibunya di hari pertama sekolah, akan menumbuhkan keyakinan, bahwa keberadaan mereka penting, bahwa cinta tidak harus dikorbankan demi tugas negara.

Dan bukankah itu cita-cita luhur institusi kepolisian? Melindungi yang lemah, menjaga yang tumbuh, dan memberi rasa aman di jalanan serta di dalam hati anak-anak?

Di hari pertama sekolah itu, di antara hiruk pikuk lalu lintas dan derap sepatu kecil yang berlarian, hadir para polisi yang pagi itu menegakkan hukum, dan menjaga kehangatan keluarga. Di balik badge dan topi dinas, mereka mengantar masa depan bangsa ke ruang kelas.

Dan Kapolda Riau, Jenderal Herimen, telah menunjukkan, bahwa menjadi pemimpin tak cukup dengan memberi komando. Harus juga mampu memberi waktu untuk cinta.

Di dunia yang serba bergegas, terburu-buru, siapa yang memberi waktu adalah mereka yang paling mengerti cara melindungi. Hari ini negara belajar untuk memeluk anak-anaknya, dengan lebih tenang, lebih penuh kasih, dan lebih berarti. (ramon damora)