Jejak Abuya di Jalan yang Sunyi: Haul, Buku, dan Warisan Keikhlasan

KAMPAR — Langit Kampar menggantungkan mendung yang tak sepenuhnya kelabu. Seolah ikut bersiap menyambut doa-doa yang akan melangit, ribuan wajah berkumpul di satu tempat yang telah menjadi mata air ilmu dan keikhlasan selama puluhan tahun. Pondok Pesantren Islamic Center Al Hidayah.

Kamis (17/7) bukan sekadar haul. Ia adalah ziarah batin kepada seorang guru yang telah pergi, namun belum benar-benar tiada, Abuya H. Bachtiar Daud. Delapan belas tahun sudah jasad beliau berbaring, tetapi nilai-nilai yang ditanamnya terus tumbuh di dada para murid dan cucu-cucu ruhaniahnya.

Hari ini pula, sebuah buku biografi diluncurkan, menjadi jendela yang membuka kembali kisah hidup seorang ulama yang memilih untuk mencintai umatnya dalam diam yang bekerja.

Gubernur Riau Abdul Wahid berdiri di tengah lautan santri dan masyarakat, sebagai pejabat dan sebagai murid yang mengenang. “Abuya bukan hanya membangun pesantren,” ucapnya pelan, “tapi membangun jiwa, menanam adab, menorehkan ilmu, dan meninggalkan keteladanan.”

Ia menyebut Abuya sebagai guru zaman, yang tak hanya hadir pada masanya, tapi melintasi zaman lewat jejak keikhlasan yang ditinggalkan.

Santri-santri muda duduk bersila di tanah yang pernah menjadi tempat Abuya menanam mimpi. Sebagian tak pernah bersua langsung, namun merasa mengenalnya lewat cerita, pengajian, dan hari-hari yang penuh berkah di pesantren ini.

Kini, lewat buku biografi yang baru terbit itu, generasi muda memiliki pelita baru, buku yang menjadi saksi bagaimana seorang ulama mendidik tanpa lelah, menegur dengan cinta, dan memimpin dengan rendah hati.

Tak hanya Gubernur yang berbicara, Ustad Abdul Somad (UAS) pun turut memberi tausiyah. Dalam suaranya yang tenang dan menembus, ia menyebut Abuya sebagai ulama yang tak hanya berdakwah dari mimbar, tapi berani turun ke gelanggang politik, memperbaiki dari dalam, seperti nasihat Imam al-Mawardi dalam al-Ahkam al-Sulthaniyyah.

“Abuya masuk ke dalam sistem karena cinta umat dan kesadaran bahwa perubahan juga perlu keberanian dari dalam,” kata UAS.

Peringatan haul Abuya Bachtiar Daud bukan sekadar upacara. Ia adalah pembacaan ulang atas sebuah hidup yang dipersembahkan sepenuhnya untuk kebaikan.

Buku biografi itu hadir untuk menghidupkan kembali semangat, bahwa dalam dunia yang makin gaduh, masih ada teladan yang sunyi tapi teguh.

Abuya telah tiada. Tapi pada tiap langkah santrinya, pada tiap huruf yang dibaca dari kitab warisannya, pada tiap adab yang diajarkan tanpa suara kera. Di sanalah Abuya hidup. (uty)