Api di Gambut, Api di Sanubari

KEBAKARAN hutan dan lahan (karhutla) di Riau kembali menjadi nestapa tahunan yang tak kunjung sembuh. Aroma hangusnya mengendap di udara, menganga dalam sanubari.

Tahun ini, titik api di Kabupaten Rokan Hilir melalap lebih dari 100 hektare lahan gambut dan menyemburkan asap pekat hingga ke Malaysia. Ini peristiwa alam, sekaligus bentuk kegagalan sistemik.

Kita patut mengapresiasi langkah cepat dan simbolis dari Kapolda Riau, Irjen Pol. Herry Heryawan, yang turun langsung memimpin pemadaman api di Kecamatan Kubu.

Dengan sepatu boot dan selang di tangan, ia menjadi gambaran langka tentang pemimpin yang memilih berada di medan, bukan di menara gading.

Namun, tindakan personal Jenderal Herimen yang heroik ini seharusnya tidak menjadi normalitas baru. Kita tidak bisa terus-menerus menggantungkan harapan pada figur karismatik di tengah sistem penanggulangan bencana yang rapuh.

Kebakaran di Riau tak setakat fenomena musim kemarau. Ia adalah hasil dari persekongkolan antara pembiaran, pembukaan lahan ilegal, dan lemahnya penegakan hukum.

Meskipun peraturan tentang larangan membakar hutan telah lama ada, implementasinya sering kali kalah oleh kepentingan ekonomi. Di banyak kasus, pelaku pembakaran tidak tersentuh hukum, atau kalaupun tersentuh, hanya berhenti di level operator kecil.

Kita sudah terlalu lama membiarkan ekologi tunduk pada ekonomi. Padahal, nilai sebuah hutan lebih dari sekadar hektare yang bisa dibuka untuk sawit atau kebun akasia.

Hutan adalah paru-paru, penyangga kehidupan, dan simbol keberlanjutan. Setiap hektare gambut yang terbakar, adalah satu langkah menuju bencana iklim yang lebih luas.

Ironisnya, ketika api sudah menjalar dan asap sudah membubung ke langit negeri jiran, barulah perhatian serius muncul. Padahal tindakan pencegahan jauh lebih murah dan lebih bermartabat ketimbang menunggu bencana datang lalu sibuk memadamkan.

Helikopter water bombing rusak, selang air tak cukup panjang, dan sumber air minim—semua ini menunjukkan bahwa kita tidak pernah sungguh-sungguh siap.

Kapolda Riau telah menyuarakan sikap keras: tak akan memberi ruang pada para pembakar hutan. Tetapi pertanyaannya, apakah sistem pendukungnya cukup kuat untuk benar-benar menindak aktor intelektual di balik tragedi ini?

Apakah kepala desa, pemilik modal, hingga perusahaan-perusahaan besar yang terlibat dalam praktik land clearing dengan api juga akan dipanggil dan ditindak tegas?

Upaya yang disebut sebagai green policing oleh Polda Riau harus dimaknai sebagai lebih dari sekadar jargon. Ia harus menjelma menjadi praktik institusional yang berkelanjutan, melibatkan edukasi ekologis, patroli rutin, pengawasan berbasis satelit, dan tentu saja, keberanian politik.

Dan masyarakat juga tak bisa terus-menerus berpangku tangan. Selama masih ada logika “murah dan cepat” dalam membuka lahan, selama masih ada rasa kebal hukum karena “semua orang melakukannya,” maka api akan terus datang. Dalam hal ini, edukasi menjadi benteng terakhir.

Karhutla bukan lagi isu lokal. Ia adalah krisis nasional bahkan lintas-negara. Ia menodai diplomasi lingkungan Indonesia, merusak citra internasional, dan yang lebih penting: merampas hak dasar masyarakat untuk menghirup udara bersih.

Sudah saatnya kita tidak lagi melihat karhutla sebagai bencana tahunan. Ia adalah hasil dari pilihan-pilihan kebijakan yang salah arah. Dan jika kita tidak berubah hari ini, api itu bukan hanya akan membakar gambut, tetapi juga akan menghanguskan masa depan kita bersama.

Apakah kita butuh lebih banyak Herry Heryawan? (ramon damora)