Ente Bid’ah!

Kolom Ustad Alnofriandi Dinar

RASULULLAH Shallallahu alaihi wa Sallam memotivasi umatnya berinisiatif membuat hal-hal baru yang baik. Coba amati hadis Rasulullah berikut; 

مَنْ سَنَّ سُنَّةً حَسَنَةً فَلَهُ أَجْرُهَا وَ أَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ. 

(رواه البخارى و مسلم)

“Siapa saja orang yang mengadakan sesuatu sunnah (jalan) yang baik, maka baginya pahala sunnah dan pahala orang lain yang mengerjakannya hingga akhir kiamat . . . .” 

Kalimat “orang yang membuat Sunnah” dalam bahasa Arab bermakna orang yang berinisiatif memulai sebuah kebaikan lalu kebaikan itu ditiru oleh orang-orang setelahnya.

Berdasarkan petunjuk hadis ini sahabat-sahabat Rasulullah dan generasi salaf setelah sahabat-sahabat Rasulullah berani berinisiatif membuat hal-hal baru yang sejalan dengan prinsip-prinsip syariat Islam, kaidah-kaidah universal ajaran Islam, dan dalil-dalil umum syariat Islam.

Maka mereka berani membuat shalat Tarawih 20 rakaat setelah Rasulullah wafat, melakukan shalat sunnah sebelum dihukum mati, dibuat mushaf al-Qur’an, al-Quran diberi harakat, dilakukan azan dua kali di hari Jum’at, pemerintahan dikelola lebih tertata, dibukukan hadis-hadis Rasulullah, dibuat tafsir, dimatangkan berbagai pembahasan ilmu-ilmu keislaman dengan berbagai spesifikasinya dan dibukukan, dibuat perpustakaan besar, dilakukan perluasan masjid Nabawi dan Masjidil Haram, dibuat halaqah ilmu di berbagai pusat peradaban Islam, dibuat berbagai bentuk pengembangan wakaf sosial dan wakaf produktif, perayaan peringatan Maulid Nabi, perayaan peringatan isra’ mi’raj, tahlilan kematian, haul, dan lain-lain. 

Dan mereka tidak berani membuat hal-hal baru yang bertentangan dengan prinsip-prinsip syariat Islam, kaidah-kaidah universal ajaran Islam, dan dalil-dalil umum syariat Islam. Karena mereka sadar betul dengan petunjuk Rasulullah shallallahu alaihi wasallam

مَنْ أَحْدَثَ فِى أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ

“Siapa saja orang yang membuat sesuatu yang baru dalam urusan kami ini (urusan agama) yang tidak ada asalnya, maka yang dibuat baru itu tertolak.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Dan hadis Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam,

مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ

“Siapa saja yang melakukan suatu amalan yang bukan berasal dari kami, maka amalan itu tertolak.” (HR. Muslim)

Sehingga para ulama Ahlussunnah Wal Jama’ah tidak berani mengklaim keyakinan-keyakinan yang bertentangan dengan al-Qur’an dan Sunnah, seperti keyakinan bahwa Allah berada di suatu tempat tertentu (di atas langit atau di atas Arsy secara hakiki), Allah memiliki organ-organ fisik hakiki, Allah memiliki sifat-sifat fisik secara hakiki, Allah turun dari langit secara hakiki, ayat-ayat mutasyabihat diyakini dengan makna zhahir, Kalam Allah dengan suara dan huruf, api membakar dengan kekuatan alami yang Allah ciptakan pada api, dan berbagai keyakinan menyimpang lainnya yang merupakan diantara bentuk keyakinan bid’ah sesat Wahabi.

Umat Rasulullah yang mengerti prinsip-prinsip ajaran syariat dengan benar, sejak masa Rasulullah hidup sampai kiamat, tidak membuat sebuah perbuatan berdasarkan apakah perbuatan yang mereka buat sudah ada di masa Rasulullah dan Sahabat atau tidak ada. Tetapi mereka membuat berdasarkan kesesuaiannya dengan prinsip-prinsip dasar ajaran syariat, kaidah-kaidah universal, dan dalil-dalil umum syariat Islam. 

Imam al-Hafizh al-Baihaqi dalam Kitab Manaqib al-Imam al-Syafi’i menukilkan pendapat sang imam bahwa hal-hal baru yang dibuat umat belakangan itu ada dua, yaitu sesat dan tidak sesat.   

اَلْمُحْدَثَاتُ ضَرْبَانِ: مَا أُحْدِثَ مما يُخَالِفُ كِتَابًا أَوْ سُنَّةً أَوْ أثرا أوإِجْمَاعًا فَهذه بِدْعَةُ الضَّلالِ وَمَا أُحْدِثَ من الْخَيْرِ لاَ يُخَالِفُ شَيْئًا مِنْ ذَلِكَ فَهذه مُحْدَثَةٌ غَيْرُ مَذْمُوْمَةٍ. (الحافظ البيهقي، مناقب 

الإمام الشافعي، ١/٤٦٩) ـ 

“Sesuatu yang baru (muhdats) itu ada dua, sesuatu yang baru dikerjakan yang bertentangan dengan Al-Qur’an, Sunnah, atsar, atau ijma’, maka ini adalah bid’ah yang sesat. Sementara sesuatu baru yang baik yang tidak bertentangan dengan sedikitpun dari hal itu maka ini adalah bid’ah yang tidak jelek.”    

Syekh Ibnu Taimiyah dalam al-’Aql wa al-Naql mengomentari, periwayatan al-Baihaqi ini sanadnya shahih. Beliau menjelaskan: 

  قَالَ عَنْهُ ابْنُ تَيْمِيَّةَ فِي العَقْلِ وَالنَّقْلِ 1/ 248 رَوَاهُ البَيْهَقِي بِإِسْنَادِهِ الصَّحِيْحِ فِي المدْخَلِ 

“Ibnu Taimiyah menjelaskan dalam al-‘Aql wa al-Naql, 1/248, periwayatan ini (tentang Imam Syafi’i membagi bid’ah menjadi dua) diriwayatkan oleh al-Baihaqi dengan sanad yang sahih dalam al-Madkhal.”

Bagi masyarakat Ahlussunnah Wal Jama’ah, bila Rasulullah tidak melakukan sesuatu perbuatan, dipahami bahwa perbuatan yang tidak dilakukan oleh Rasulullah itu juga boleh tidak kita lakukan. Bukan bermakna terlarang/haram dilakukan oleh umatnya. Wallahu a’lam bi ashshawaab. ***

Ustad Alnofriandi Dinar adalah ulama muda jebolan Universitas Al-Alzhar, Kairo, Mesir. Kini berkhidmat sebagai Ketua Yayasan Tabung Wakaf Umat (YTWU) Riau.